Rabu, 02 Oktober 2019

Dimana Arti Demokrasi Bangsa Ini?

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas Dasar-Dasar Penulisan.
Nama : Annisa Yumna Yolanda
Kelas : Penerbitan 1B
Nim : 19030018
Dosen : Nurul Akmalia, S.I Kom, M.Med.Kom


Ribuan mahasiswa bentrok saat melakukan aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU KUHP dan berbagai RUU yang dinilai kontroversial dan melemahkan demokrasi dan pemberantasan korupsi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019). tirto.id/Andrey Gromico
Ribuan mahasiswa bentrok saat melakukan aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU KUHP dan berbagai RUU yang dinilai kontroversial dan melemahkan demokrasi dan pemberantasan korupsi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019). tirto.id/Andrey Gromico.



Belakangan ini demo besar-besaran terjadi disejumlah kota di Indonesia, seperti di Semarang, Palembang, Makassar, Solo, Medan dan kota-kota lainnya. Di Jakarta sendiri demo berlangsung dengan melibatkan ribuan massa yang mengepung gedung DPR. Ini berawal dari pro-kontra terhadap rancangan KUHP, lalu berlanjut saat disahkannya RUU KPK oleh DPR, kemudian berlanjut ke pembahasan RUU Minerba, RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Kemasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan yang ternyata mendapat protes dari para mahasiswa di seluruh Indonesia. Mereka (mahasiswa) menolak keempat RUU tersebut, karena dinilai DPR sudah sewenang-wenang membuat aturan tanpa partisipasi masyarakat. Malah ada aturan yang berpotensi menjadi sumber kesengsaraan rakyat.. 

Senin (23/9/2019), Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta empat Rancangan Undang-Undang itu ditunda pengesahannya oleh DPR. "Tadi siang saya bertemu dengan Ketua DPR, serta ketua fraksi, ketua komisi yang intinya tadi saya minta agar pengesahan RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan itu ditunda pengesahannya," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Permintaan penundaan itu disampaikan Jokowi saat bertemu dengan pimpinan DPR beserta komisi terkait di Istana. Untuk RUU KUHP, Jokowi sudah meminta penundaaan sejak Jumat (20/9/2019) lalu. Jokowi ingin DPR mendengarkan masukan-masukan masyarakat sebelum mengesahkan RUU tersebut. 

Dari sekian banyaknya RUU yang ditolak oleh mahasiswa, saya disini akan membahas salah satu RUU KUHP tentang penghinaan kepada Presiden. Kenapa saya lebih memilih untuk membahas RUU KUHP yang satu ini? Karena RUU ini cukup menarik perhatian saya. Kenapa? Indonesia ini adalah negara hukum dan berdemokrasi. Dalam arti setiap warga negara bebas mengatakan pendapatnya. Dan pendapat itu, atau cara pandangnya bisa bersifat positif dan negatif. Bila negara ini menetapkan hukuman pidana dalam penghinaan untuk pejabat negara seperti itu, dimana arti Demokrasi negara ini? Demokrasi negara ini bebas, walaupun tidak semau-maunya. Dan juga apa artinya penghinaan? Itu relatif darimana sudut pandang kita menyimpulkannya seperti apa. Kalau kritikan di dalam dunia politik itu dinamakan penghinaan, ya itu mengarah ke otoriter. Dan apabila itu terjadi mau kemana arah negara demokrasi bangsa ini?


Menurut Manik Margamahendara (Ketua Bem UI), “Mengkritik itu tujuannya untuk memperbaiki bukan untuk menghina. Dan yang kami khawatirkan justru itu nanti malah menjerat para aktivis, menjerat orang-orang yang bisa kritis untuk memikirkan nasib kedepan bagi bangsa ini.”

Selama masa penundaan, para penyusun UU akan mendalami kembali sejumlah pasal kontroversial dalam beleid tersebut. Salah satu materi yang mengundang pro-kontra adalah pemidanaan terhadap penyerang kehormatan dan martabat presiden atau wakil presiden (wapres).

Dalam draf  RKUHP versi 15 September 2019 yang diperoleh Bisnis/JIBI, pemidanaan terhadap penghina penguasa negeri ini tercantum dalam RKUHP Buku Kedua Bab II mengenai Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.Bab II meliputi Pasal 217-Pasal 220. Bagian kesatu mencakup Pasal 217 yakni Penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.Adapun bagian kontroversial terdapat pada bagian kedua mengenai Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi Pasal 218-Pasal 220.Pasal 218 ayat (1) berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."Pasal 218 ayat (2) berbunyi, "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."Sementara itu, Pasal 219 RKUHP mencantumkan pidana bagi pelaku penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat melalui medium komunikasi. Adapun Pasal 220 menegaskan pemidanaan penghina presiden atau wapres sebagai delik aduan.

Seorang advokat, Dr. Eggi Sujana yang dituduh melakukan “penghinaan” terhadap Presiden kemudian disidangkan dalam tuduhan cukup serius. Penghinaan terhadap Presiden. Selain “menghadapi” persidangan, Eggi Sujana kemudian “mempersoalkan” pasal ini ke MK. Permohonan ini kemudian diperiksa oleh MK dalam perkara No. 013 Tahun 2006. Sebelum memberikan putusan akhir, MK kemudian mempertimbangkan terhadap permohonan Eggi Sujana. Menurut MK, Penerapan Pasal 134 KUHP dan Pasal 136 bis KUHP diciptakan Belanda lebih dari 100 (seratus) tahun yang lalu dengan alasan untuk membatasi kebebasan berpendapat negara-negara pada jajahan Belanda dan untuk tidak menyerang kehormatan Ratu Belanda. Padahal sekarang ini pasal tersebut sudah tidak berlaku lagi di Negara Belanda, oleh karena itu sangat tidak relevan penerapan pasal tersebut sampai sekarang tetap diberlakukan dimana di negara asalnya sudah dicabut dan tidak diberlakukan lagi. 

Pasal 134 (dan juga Pasal 135 telah dihapus, asal 136 bis, dan Pasal 137) tersebut di atas, kata “Presiden atau Wakil Presiden” dibuat untuk menggantikan Penguasa Belanda, yaitu Ratu atau Gubernur Jenderal dan Penguasa Belanda di daerah-daerah Hindia Belanda. 

Yang dimaksud dengan “Ratu” adalah Ratu Negeri Belanda (Nederland) dan yang dimaksud dengan “Gubernur Jenderal” adalah penguasa tunggal di Hindia Belanda selaku wakil Ratu Belanda untuk tanah jajahan, yang kemudian disebut Indonesia.

Oleh sebab itu, pasal-pasal tersebut di atas pada hakekatnya adalah pasal-pasal penjajah yang digunakan untuk memidana rakyat jajahan dengan cara yang sangat mudah, yaitu dengan tuduhan telah menghina penguasa (penjajah) Belanda, agar melalui ancaman penjara itu rakyat bisa ditakuti, ditundukkan dan diatur hidupnya untuk tidak melawan penjajah Belanda.

Dengan begitu, apabila pasal-pasal tersebut digunakan terhadap rakyat Indonesia yang sudah menyatakan dirinya merdeka, sama saja dengan mengatakan bahwa rakyat Indonesia masih terjajah.

Pasal Penghinaan Presiden

Warisan Kolonial
  • Pasal 134: Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500.
  • Pasal 136 bis: Dalam pengertian penghinaan tersebut Pasal 134, termasuk juga perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal di luar adanya yang terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan perbuatan, lisan, lisan atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang, atau di muka orang ketiga yang ada di situ
    bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung karenanya.
  • Pasal 137 Ayat (1): Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, dengan maksud supaya isi yang menghina diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500.
  • Pasal 137 Ayat (2): Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat 2 tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut


Era Presiden Joko Widodo (draf)
  • Pasal 217: Setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
  • Pasal 218 Ayat (1): Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV

  • Pasal 218 Ayat (2): Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
  • Pasal 219: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV
  • Pasal 220 Ayat (1): Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hana dapat dituntut berdasarkan aduan.
  • Pasal 220 Ayat (2): Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.



Dalam negara seperti Indonesia ini, penghinaan terhadap Presiden sebaiknya tidak mendapat ancaman pidana karena sejumlah hal.
Pertama, demokrasi membutuhkan warga masyarakat yang bersedia berbicara terbuka di hadapan para pemimpinnya. Tradisi ini harus terus dikembangkan. Dalam tradisi ini, memang bisa saja orang mengekspresikan kemarahan atau ketidaksukaannya dengan cara yang ekstrem. Tapi itu harus dipahami sebagai bagian (atau ekses) sah dari tradisi kebebasan berekspresi. Bila kini, para warga masyarakat ini ditakut-takuti untuk bicara, mereka akan kehilangan keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Bila ini terjadi, yang rugi adalah bangsa Indonesia.
Kedua, istilah ‘penghinaan’ itu adalah istilah yang dapat ditafsirkan sangat luas. Sebagai contoh, pernyataan ‘Presiden Jokowi adalah presiden terburuk dalam sejarah Indonesia’ atau ‘Jokowi sebaiknya mengurus keluarga saja, daripada mengurus negara’ bisa dengan mudah dinyatakan sebagai ‘penghinaan’.

Ketiga, bila pemerintah diberi otoritas untuk mengatur bentuk ekspresi kritis masyarakat , ini bisa dimanfaatkan mereka yang berkuasa untuk memberangus setiap bentuk sikap kritis masyarakat. Indonesia pernah punya pengalaman panjang seperti ini di masa Orde Lama dan Orde Baru. Dengan segenap alasan yang seolah nampak luhur, pemerintah membungkam sikap kritis masyarakat. Pemerintah manapun selalu punya kecenderungan atau potensi untuk memberangus suara oposisi. Karena itu masyarakat jangan pernah memberi peluang bagi pemerintah untuk memilki kekuasaan untuk mengatur lalu lalang opini dan ekspresi masyarakat tentang pemerintah. Yang dilarang adalah penyiaran kebohongan dan fitnah.

Keempat, dengan merujuk pada pengalaman Indonesia paca otoritarianisme, ada cukup bukti bahwa hukum berpotensi dimanipulasi. Misalnya, pasal ‘pencemaran nama baik’ yang termuat dalam UU Informasi Transaksi dan Eelektronik digunakan untuk memberangus hak warga untuk bicara secara kritis. Kasus Prita Mulyasari yang sempat masuk penjara karena mengeritik perlakuan terhadapnya oleh sebuah Rumah Sakit Swasta adalah bukti kuat bagaimana sebuah pasal hukum yang semula nampak wajar dapat dimanipulasi dengan cara sedemikian rupa oleh mereka yang memiliki kekuasaan (dalam hal ini, kekuasaan ekonomi) untuk menindas rakyat. Hukum di Indonesia dapat dengan mudah dimanfaatkan dan dibelokkan oleh mereka yang berkuasa untuk kepentingan mereka. Karena itu, cara terbaik untuk mencegah kejahatan kekuasaan ini adalah dengan tidak membiarkan hadirnya pasal-pasal yang dapat dimanipulasi oleh penguasa. Bila pasal’pencemaran nama baik’ saja bisa dimanipulasi, apalagi pasal ‘penghinaan Presiden’ yang penafsirannya bisa lebih melebar.

Kelima, seorang Presiden dalam masyarakat demokratis seharusnya memang tidak berkuping tipis berhadapan dengan warga masyarakat yang bersuara pedas. Dalam demokrasi, Presiden bukanlah raja, bukan titisan dewa, bukan manusia suci. Presiden adalah warga yang dipilih secara kolektif untuk memimpin bangsa. Warga masyarakat pada dasarnya berdiri sejajar dengan Presiden. Karena itu penghinaan terhadap Presiden sebaiknya dipandang sebagai hal biasa-biasa saja. Indonesia sudah berhasil membangun tradisi demokrasi yang sehat selama 15 tahun terakhir. Bila ini kembali diubah, pemerintah dan DPR , Indonesia kembali mundur ke dunia gelap di masa lalu.

Keenam, penghinaan tidak akan merusak reputasi atau nama baik seorang Presiden. Penghinaan mungkin tidak menyenangkan bagi mereka yang dihina, namun itu tak akan merusak reputasi atau nama baik mereka yang dihina. Ini berbeda dengan fitnah yang bisa menghancurkan hidup seseorang. Bila Jokowi diejek sebagai kodok, tidak akan ada orang yang menganggap Jokokwi sebagai kodok. 

Ketujuh, warga masyarakat pada dasarnya tidak pasif dan tidak bodoh. Bila presidennya dihina sementara sang presiden bekerja secara benar, mereka justru akan menganggap yang menghina sebagai kalangan yang bodoh, sakit hati, ‘gagal move on’, pecundang, pengecut atau sekadar meracau. Coba lihat tokoh seperti Fahri Hamzah yang terus menerus menghina Jokowi. Ucapan-ucapannya hanya akan didengar para ‘Jokowi haters’, tapi secara umum hanya jadi bahan tertawaan.

Kedelapan, penghinaan pada Presiden pada dasarnya adalah semacam bentuk kontrol sosial yang akan membuat pemimpin bersikap hati-hati dan dipaksa untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat. Dengan kesadaran bahwa langkah-langkahnya akan terus diawasi masyarakat dan berpotensi untuk di’bully’, seorang pemimpin akan selalu mempertimbangkan apa dampak yang akan ditimbulkan oleh lengkah-langkahnya.

Kesembilan, melawan suara kritis, keras, tajam, menyakitkan dari warga masyarakat dengan ancaman hukuman pidana terkesan kekanak-kanakan. Pemerintah jadinya nampak penakut dengan menggunakan tameng hukum untuk melawan warganya. Pemerintah indoensia perlu belajar dari pengalaman Presiden Obama yang habis-habisan dihina tapi membalas penghinaan itu dengan cara elegan sehingga justru Obama dikenang sebagai negarawan sesungguhnya. Sebaliknya, dulu Presiden Megawati menuntut Rakyat Merdeka karena koran itu memasang headline ‘Megawati seperti Sumanto’. Rakyat Merdeka memang dinyatakan bersalah tapi Megawati dijadikan bahan tertawaan karena tuntutannya itu.

Kesepuluh, penghidupan kembali pasal pelarangan penghinaan terhadap Presiden hanya merusak reputasi Jokowi yang naik ke tampuk kekuasaan dengan dukungan mereka yang sangat percaya bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik bagi Indonesia. Penghidupan kembali pasal tersebut akan merupakan warisan terburuk pemerintahan Jokowi yang ironisnya justru naik karena demokrasi.

Ada baiknya pasal tentang penghinaan terhadap presiden dibiarkan tetap berada dalam peti yang terkunci. Mudah-mudahan pemerintah dan DPR bersikap bijak dan ingat pada akhirnya yang harus selalu menempati prioritas utama adalah kesejahteraan rakyat Indonesia. Dan itu hanya akan bisa dicapai bila Indonesia memiliki pemerintahan yang bersih dari korup dan bisa dikontrol oleh masyarakat.


Sumber :
1. https://news.detik.com/berita/d-4718715/kontroversi-di-balik-4-ruu-yang-pengesahannya-diminta-ditunda

2. https://tirto.id/isi-ruu-kuhp-dan-pasal-kontroversial-penyebab-demo-mahasiswa-meluas-eiFu


3. https://www.solopos.com/sejarah-pasal-penghinaan-presiden-dihapus-mk-dikembalikan-dpr-di-rkuhp-1020357

4. https://www.dw.com/id/10-alasan-mengapa-pasal-pelarangan-penghinaan-presiden-sebaiknya-tidak-masuk-kuhp/a-18639953


Tidak ada komentar:

Posting Komentar