Kamis, 31 Oktober 2019

TEKS NARATIF





Si Ayam dan Angsa Putih



            Pada suatu hari di hutan yang rindang, hiduplah seekor ayam. Ia baru saja menetaskan 6 butir telur. Tapi yang anehnya satu telur ini berbeda dari lima telur lainnya. Telur ini lebih besar dan berwarna putih, sedangkan lima telur lainnya itu berwarna coklat dan ukurannya lebih kecil. Si induk ayam merasa bingung dengan kejadian ini. Tak lama kemudian telur-telur ini menetas, kecuali telur yang besar dan putih itu. Si induk ayam terus menunggu, hingga telur besar ini pun akhirnya menetas.

Induk ayam dan anak ayam lainnya lagi-lagi merasa aneh, pasalnya anak ayam yang satu ini menetas dengan bentuk yang lebih besar dan mempunyai leher dan kaki yang lebih panjang dari anak ayam lainnya. Perbedaan pun semakin mencolok saat mereka tumbuh besar. Anak ayam lainnya tumbuh dengan bulu berwarna kuning dan dengan tubuh yang mungil, sedangkan anak ayam yang berbeda ini tumbuh dengan bulu yang berwarna putih bersih dan tubuhnya lebih tinggi dari anak ayam lainnya.

“ Liat deh, itu dia kok beda banget ya dari kita?”, kata si ayam 3.
“ Gak tau aku juga, kok bisa gitu yaa..”, kata si ayam 2.

            Semua ayam di sana merasa iri dengan ayam yang berbeda ini, karena parasnya lebih cantik dan indah jika dibandingkan dengan ayam yang lainnya. Ayam-ayam itu selalu mengejek dan bersikap jahat kepada si bungsu ayam putih ini. Ayam putih merasa sangat sedih dan kesepian. Ia selalu bertanya kepada induk ayam, mengapa ia dilahirkan berbeda dengan ayam-ayam lainnya. Si induk ayam pun juga tidak tahu kenapa anaknya itu berbeda. 

            Hingga pada suatu hari, si bungsu ayam putih dan kakak-kakaknya sedang makan siang di pinggir danau. Mereka semua mencari makan di sekitaran danau itu. Karena tubuhnya yang tinggi dan juga mempunyai leher yang panjang, si bungsu selalu disuruh-suruh oleh kakaknya untuk mengambil makanan yang ada di danau, karena saking sibuknya melayani mereka, si bungsu ayam putih ini sampai tidak sempet makan siang.

“ Ayo cepet cari makanannya..! ”, kata si ayam 1 (kakak pertama).
“ Tau nih, lama banget sih!! Kan kita udah laper tau”, kata si ayam 2 (kakak kedua).
“ iya kak ”, kata si bungsu ayam putih.
“ Jangan iya iya doang! Kamu tuh anak terakhir, jadi kamu harus ngelayanin kita sampai kita semua kenyang”,  kata ayam 3.
“ iya kak...”, kata ayam putih yang mukanya pucat karena kecapean. 

Karena saking kecapeannya, si ayam putih makin lama semakin lambat untuk melayani kakak kakaknya. Si ayam 1 geram dengan lambatnya si ayam putih itu. Lalu, si ayam 1 nyebur ke danau untuk mengambil makanannya sendiri. Ia lupa kalau kakinya lebih pendek dan tubuhnya lebih kecil dari si ayam putih. Belum sampai ke tengah danau, si ayam 1 ini sudah engap-engap karena ia harus jinjit supaya tidak tenggelam di danau. Ia tidak tau kalau danau itu penuh dengan lumut-lumut di dalemnya. Ia pun kepeleset karena menginjak lumut itu dan ia terjatuh. Ia meminta tolong kepada ayam-ayam lainnya untuk membantunya ke tepi danau. Tetapi mereka tidak ada yang mau menolongnya, karena mereka juga takut tenggelam di danau itu.

“ Tolong, tolong aku…”, kata ayam 1.
“ Aduh aku gak berani nolongin kamu, aku juga takut tenggelam” kata ayam 4.
“ Iyaaa, aku juga gak bisa berenang untuk nolongin kamu..”, kata ayam 5.
“ Tolooong…toloooooong…”, kata ayam 1 sambil terus teriak minta tolong.

            Melihat kejadian itu, si ayam putih langsung menghampiri kakak pertamanya (ayam 1) untuk menolongnya. Ia langsung memegang tubuh kecil kakaknya itu, lalu menariknya ke tepi danau. Dengan khawatir ayam putih itu bertanya ke kakaknya,

“ Kak, kamu gak gapapa kan?”, kata ayam putih.
“ Iya aku gapapa kok, maafin kakak ya dek. Selama ini kakak sudah jahat kepada kamu”, kata ayam 1.
“ Iya kak, aku sudah memaafkan kakak”, kata ayam putih.

            Ayam-ayam yang lainnya pun terdiam saat melihat si bungsu ayam putih menolong kakak pertama mereka. Mereka semua heran, mengapa si ayam putih mau menolongnya. Padahal ia sudah sering di hina dan di bully. Mereka semua juga takut dimarahi oleh kakak pertamanya itu karena mereka tidak bisa menolongnya. Dengan perasaan yang takut mereka semua meminta maaf ke kakak pertamanya itu.


“ Kak, maafin kita ya kak..kita gak bisa nolongin kakak”, kata ayam-ayam itu.
“ Kalian semua itu gak berguna banget jadi adek, lihat nih adek bungsu kita. Dia yang selalu kita hina dan kita bully, dia masih mau menolong aku yang hampir tenggelam tadi”, kata ayam 1.
“ Sudah kak sudah, tidak apa-apa. Mereka tidak salah kok kak. Hanya saja mereka takut tenggelam, bukan berarti mereka tidak mau menolong kakak”, pembelaan dari si ayam putih.

            Mendengar pembelaan dari si bungsu, kakak-kakaknya pun merasa bersalah. Dan mereka semua meminta maaf kepada si bungsu ayam putih itu. Sejak kejadian itulah mereka saling tolong menolong, tidak lagi menghina dan membully si bungsu ayam putih. Si ayam putih itu pun juga akhirnya mengetahui bahwa ia sebenernya bukanlah anak dari si induk ayam.

Ia adalah seekor angsa putih, yang saat itu telurnya hilang dari si induk angsa. Si induk angsa pun telah mencarinya, tetapi tidak ketemu sampai suatu hari si induk angsa itu bertemu dengan si induk ayam. Pada saat itu si induk ayam bercerita mengenai anaknya yang berbeda bentuk dengan dirinya dan juga anak-anak nya yang lain. Mendengar cerita dari si induk ayam itu, induk angsa pun merasa curiga bahwa anak yang berbeda dari induk ayam itu adalah anaknya yang selama ini ia cari-cari. Dan benar saja saat mereka dipertemukan, terlihat dari bentuk badan dan warna bulu yang sama dengannya. 

Kemudian, angsa putih itu pun kembali ke induknya setelah sekian lama terpisah. Walaupun si angsa dan ayam-ayam itu tidak lagi tinggal serumah. Tetapi mereka tetap selalu bermain bersama-sama.

Kamis, 10 Oktober 2019

Pertemuan Yang Kuimpikan









KERANGKA KARANGAN
Tema/topik : Pertemuan
Judul : Pertemuan yang Kuimpikan
Kerangka Karangan :

Pembukaan :  Latar Suasana : Suasana Kamar Alya
                        Latar Tempat : Kamar Alya
                        Latar Waktu : Tahun 2019

Tokoh :
Alya Amanda (20 tahun)
Nenek (74 tahun), Neneknya Alya dari ayahnya
ISI
Konflik : Karena perceraian kedua orang tuanya, Alya berpisah dengan ibunya sedari bayi. Dan Alya terus mencari Ibunya walaupun ia belum pernah melihat ibunya.
Klimaks : Alya menemukan alamat rumah ibunya (Ibu Ranti) dari sahabatnya (Devi), yang ternyata Devi kenal dengan Ibunya
Anti Klimaks : Alya mencari rumah Ibu Rianti di Jogjakarta

Penutup
 Penyelesaian : Alya menemukan alamat rumah ibunya dan mereka akhirnya bertemu setelah sekian lama.

Pesan : Seharusnya jangan menjauhkan anak dari kedua orangtuanya, walaupun orangtuanya bercerai. Karena anak membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya. Mereka para orang tua yang bercerai dan sudah mempunyai anak seharusnya bisa membagi waktu untuk mengurus anaknya, memberikan kasih sayang yang lengkap dan terus berada disisinya, sehingga si anak tidak merasa bahwa ia adalah korban perceraian dari kedua orangtuanya.




Pertemuan yang Kuimpikan


Brakkk…! terdengar suara barang terjatuh dari kamar seorang gadis yang pagi ini tengah terburu-buru. Nenek dari gadis tersebut buru-buru menuju kamar, “Ada apa ini?” tanya Nenek. “Eh Nenek, maafkan aku. Sepagi ini sudah membuat kegaduhan,” sambil membereskan buku-buku yang terjatuh dari meja belajarnya. “Memangnya ada apa, kenapa pagi ini Nenek lihat kamu sangat terburu-buru?” tanya Nenek kembali. “Pagi ini aku harus bertemu 
seseorang, dia orang yang sangat penting Nek,” kemudian mengulurkan tangannya untuk berpamitan. “Aku pamit ya Nek. Assalamu’alaikum,” pamitnya sembari mencium tangan Neneknya. “Wa’alaikumsalam, kamu hati-hati pokoknya Nenek tidak mau dengar kabar yang tidak mengenakan setelah kejadian ini,” jawab Neneknya sambil mengencangkan suaranya karena Cucunya langsung berlari ke luar rumah. “Iya-iya nek,” teriaknya terburu-buru.
Entah apa yang membuat gadis bernama Alya ini terburu-buru untuk pergi ke kampus, padahal baru pukul 6.15 pagi.

Sampailah ia di kampus, matanya terus mengitari setiap sudut kampus untuk mencari orang yang hendak ia temui. Alya pun mengirimi ia pesan, “Kamu di mana sekarang?” begitulah isi pesannya. Orang di seberang sana membalas bahwa ia sedang menunggunya di kantin.

Akhirnya ia menemukan orang tersebut, “Assalamu’alaikum, maaf membuatmu menunggu lama Dev, padahal kamu harus segera berangkat kan?” wajahnya terlihat cemas, takut temannya tersebut kecewa. “Wa’alaikumsallam… tidak usah menunjukkan rasa bersalah seperti itu aku tidak suka,” canda temannya tersebut.  Alya  hanya mampu tersenyum. Devi ini adalah sahabat barunya di kampus, namun pagi ini ia harus segera berangkat ke Bandara karena akan melanjutkan S2 ke luar negeri.

“Oh iya, ini…” Devi pun memberikan sebuah tas kecil. “Di dalamnya ada alamat rumah ibu kamu yang baru, selain itu ada juga sepatu bayi dan foto kamu sewaktu bayi.” Jelasnya kepada Alya.

Kilas balik…
Delapan tahun yang lalu Devi memiliki tetangga yang sangat ia sayangi, namanya Bu Ranti. Bu Ranti ini sudah seperti ibu kandungnya sendiri, karena orangtua kandungnya Devi sering pulang pergi ke luar negeri untuk masalah pekerjaan. Sehingga ia kurang mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya dan banyak menghabiskan waktu bersama Bu Ranti. Kebetulan Bu Ranti pun hidup seorang diri. Namun, setahun yang lalu rumah Bu Ranti kebakaran dan ia pergi entah kemana tanpa sempat berpamitan kepada Devi. Sebelum kebakaran tersebut terjadi Bu Ranti sempat bercerita bahwa ia memiliki seorang anak bernama Alya Amanda. Tetapi setelah Bu Ranti bercerai dengan suaminya, ia tak pernah lagi bertemu dengan anaknya tersebut. Devi ternyata baru sadar bahwa anak Bu Ranti tersebut adalah sahabatnya sendiri.


“Nah, Bu Ranti hanya meninggalkan sepucuk surat untukku sebelum ia pergi. Di dalamnya tertulis alamat rumahnya yang baru,” jelasnya kembali kepada Alya. “Ya Allah ibu… Dev, makasih banyak yah atas semua informasi ini,” ucap Alya. “Iya sama-sama. Kalau begitu aku pergi sekarang yah.” Devi pun berdiri dari duduknya. “Baiklah, setelah kamu mendapatkan gelar S2 mu itu cepat-cepatlah pulang ke Indonesia dan bekerjalah di sini. Lalu beri aku setengah dari gaji bulananmu oke!” canda Alya sembari memeluk sahabatnya tersebut. “Kalau begitu aku tak akan pernah kembali, Assalamu’alaikum.” Jawab Devi sinis kemudian keduanya sama-sama tersenyum. “Wa’alaikumsallam Dev,” balasnya.

Keesokan harinya Alya sudah bersiap dengan pakaian dan bekal makanan di kedua tangannya. Kemarin ia bilang kepada Neneknya bahwa ia harus ke Jogja, karena ada tugas kuliah yang harus dilakukan di sana. Neneknya percaya-percaya saja. “Jangan lupa sholat dan makan yang banyak Alya!” perintah Neneknya. “Siap Nenek, bahkan bekal makanan ini akan aku habiskan di mobil aku kan belum sempat sarapan,” jawabnya nyerocos. “Baiklah, terserah kamu saja,” jawab Neneknya. Alya pun mencium Neneknya dan berpamitan “Assalamu’alaikum Nenek… Oh iya, Ayah kan bilang olimpiade siswanya cuma tiga hari, berarti sore ini pulang. Bilang saja aku ada tugas kuliah mendadak.” Jelas Cucu kesayangannya tersebut. “Wa’alaikumsallah… siap Cucuku terbawel,” jawab Neneknya.

Setelah beberapa jam perjalanan, Alya sampai di Jogja. Ia pun bertanya kesana kemari menanyakan alamat yang ada dalam secarik kertas yang ia bawa. Setelah ia menemukan rumah ibunya, ia memberanikan diri untuk menekan bel. Tampak seseorang keluar dari rumah tersebut dan membukakan pagar untuk Alya. “Assalamu’alaikum,” sapa Alya terbata, ia masih ragu bahwa orang yang di depannya adalah Ibunya. “Wa’alaikumsallam… eh ada gadis cantik bertamu pasti pacarnya Dimas yah. Mari masuk.” Jawab wanita di depannya kemudian menuntunnya masuk ke rumah. Dimas itu anak tiri Bu Ranti. “Silahkan duduk nak,” ucap wanita tersebut. “Maaf Bu… tapi saya bukan pacarnya Dimas seperti yang tadi ibu katakan. Bahkan aku tak mengenalnya sama sekali.” Jelas Alya. Wanita tersebut keheranan, “Lalu kamu siapa dan ada perlu apa?” tanyanya. “Na-ma Ibu… Bu Ran-ti kan?” ucapnya terbata dan matanya pun mulai berkaca-kaca”. “Iya nak… kenapa?” jawab Bu Ranti masih keheranan. “Ibu punya anak bernama Alya Amanda kan? Dan mantan suami ibu bernama Pak Ajid. Pak Ajid membawa anak tersebut dan tidak mempertemukannya lagi dengan Ibu. Namun, anak tersebut selalu merindukan Ibunya meskipun ia belum pernah melihat wajah Ibunya secara langsung.” Alya pun menyodorkan sepatu bayi dan fotonya sewaktu bayi. “Ini adalah foto aku waktu bayi, sahabatku yang bernama Devi menemukan sepatu bayi ini di rumah Ibu yang sudah terbakar habis itu,” lanjutnya.

Sejam kemudian Bu Ranti tersadar, tadi ia sempat pingsan karena tak menyangka anak kandungnya datang menemuinya. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Suami barunya. “Aku sudah baikan sekarang Mas,” jawab Bu Ranti. “Oh iya di mana Anak itu?” lanjutnya. “Dia masih di ruang tamu,” jawab suminya.

Seseorang membuka pintu kamar Bu Ranti, ia adalah Alya. “Maaf Pak… Bu… tadi pembantu di rumah ini mengatakan bahwa ibu sudah sadar. Boleh aku masuk?” tutur Alya. “Masuk saja nak,” suruh suami Bu Ranti. Bu Ranti mulai berkaca-kaca “Apa benar kamu anakku? Hati ibu mengatakan kalau kamu benar-benar Alya anakku. Maafkan Ibu karena tidak menemukan kamu. Kemana pun Ibu mencari, tak ada seorang pun yang mengenalmu jadi Ibu memutuskan untuk menyerah saat itu.” Jelas Bu Ranti terisak. “Ayah membawa aku ke Sumedang Bu. Aku rindu Ibu, aku selalu ingin bertemu Ibu, aku sepi tanpa Ibu, aku butuh rangkulan Ibu, aku sayang Ibu…” Jawab Alya. Air mata Alya pun sudah tak mampu terbendung lagi, ia menghambur ke pelukan Ibunya. “Ibu harus yakin, kalau aku ini anak Ibu. Aku orang yang berharga bagi Ibu kan?” tanyanya sambil memeluk erat Ibunya. “Harta yang paling berharga sayang,” membalas pelukan anaknya. 

“Kalau begitu kamu menginap beberapa hari di sini yah. Kalau seminggu bagaimana?” pinta Ibunya. “Aku cuma punya waktu tiga hari Bu, karena aku bilang pada Nenek bahwa aku ada tugas kuliah di Jogja selama tiga hari.” Jawab Alya. “Anak nakal,” memeluk anaknya kembali. 

Ada perpisahan dan ada pertemuan. Setelah beberapa tahun berpisah akhirnya anak dan ibu ini dipertemukan kembali





Rabu, 02 Oktober 2019

Dimana Arti Demokrasi Bangsa Ini?

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas Dasar-Dasar Penulisan.
Nama : Annisa Yumna Yolanda
Kelas : Penerbitan 1B
Nim : 19030018
Dosen : Nurul Akmalia, S.I Kom, M.Med.Kom


Ribuan mahasiswa bentrok saat melakukan aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU KUHP dan berbagai RUU yang dinilai kontroversial dan melemahkan demokrasi dan pemberantasan korupsi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019). tirto.id/Andrey Gromico
Ribuan mahasiswa bentrok saat melakukan aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU KUHP dan berbagai RUU yang dinilai kontroversial dan melemahkan demokrasi dan pemberantasan korupsi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019). tirto.id/Andrey Gromico.



Belakangan ini demo besar-besaran terjadi disejumlah kota di Indonesia, seperti di Semarang, Palembang, Makassar, Solo, Medan dan kota-kota lainnya. Di Jakarta sendiri demo berlangsung dengan melibatkan ribuan massa yang mengepung gedung DPR. Ini berawal dari pro-kontra terhadap rancangan KUHP, lalu berlanjut saat disahkannya RUU KPK oleh DPR, kemudian berlanjut ke pembahasan RUU Minerba, RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Kemasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan yang ternyata mendapat protes dari para mahasiswa di seluruh Indonesia. Mereka (mahasiswa) menolak keempat RUU tersebut, karena dinilai DPR sudah sewenang-wenang membuat aturan tanpa partisipasi masyarakat. Malah ada aturan yang berpotensi menjadi sumber kesengsaraan rakyat.. 

Senin (23/9/2019), Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta empat Rancangan Undang-Undang itu ditunda pengesahannya oleh DPR. "Tadi siang saya bertemu dengan Ketua DPR, serta ketua fraksi, ketua komisi yang intinya tadi saya minta agar pengesahan RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan itu ditunda pengesahannya," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Permintaan penundaan itu disampaikan Jokowi saat bertemu dengan pimpinan DPR beserta komisi terkait di Istana. Untuk RUU KUHP, Jokowi sudah meminta penundaaan sejak Jumat (20/9/2019) lalu. Jokowi ingin DPR mendengarkan masukan-masukan masyarakat sebelum mengesahkan RUU tersebut. 

Dari sekian banyaknya RUU yang ditolak oleh mahasiswa, saya disini akan membahas salah satu RUU KUHP tentang penghinaan kepada Presiden. Kenapa saya lebih memilih untuk membahas RUU KUHP yang satu ini? Karena RUU ini cukup menarik perhatian saya. Kenapa? Indonesia ini adalah negara hukum dan berdemokrasi. Dalam arti setiap warga negara bebas mengatakan pendapatnya. Dan pendapat itu, atau cara pandangnya bisa bersifat positif dan negatif. Bila negara ini menetapkan hukuman pidana dalam penghinaan untuk pejabat negara seperti itu, dimana arti Demokrasi negara ini? Demokrasi negara ini bebas, walaupun tidak semau-maunya. Dan juga apa artinya penghinaan? Itu relatif darimana sudut pandang kita menyimpulkannya seperti apa. Kalau kritikan di dalam dunia politik itu dinamakan penghinaan, ya itu mengarah ke otoriter. Dan apabila itu terjadi mau kemana arah negara demokrasi bangsa ini?


Menurut Manik Margamahendara (Ketua Bem UI), “Mengkritik itu tujuannya untuk memperbaiki bukan untuk menghina. Dan yang kami khawatirkan justru itu nanti malah menjerat para aktivis, menjerat orang-orang yang bisa kritis untuk memikirkan nasib kedepan bagi bangsa ini.”

Selama masa penundaan, para penyusun UU akan mendalami kembali sejumlah pasal kontroversial dalam beleid tersebut. Salah satu materi yang mengundang pro-kontra adalah pemidanaan terhadap penyerang kehormatan dan martabat presiden atau wakil presiden (wapres).

Dalam draf  RKUHP versi 15 September 2019 yang diperoleh Bisnis/JIBI, pemidanaan terhadap penghina penguasa negeri ini tercantum dalam RKUHP Buku Kedua Bab II mengenai Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.Bab II meliputi Pasal 217-Pasal 220. Bagian kesatu mencakup Pasal 217 yakni Penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.Adapun bagian kontroversial terdapat pada bagian kedua mengenai Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi Pasal 218-Pasal 220.Pasal 218 ayat (1) berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."Pasal 218 ayat (2) berbunyi, "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."Sementara itu, Pasal 219 RKUHP mencantumkan pidana bagi pelaku penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat melalui medium komunikasi. Adapun Pasal 220 menegaskan pemidanaan penghina presiden atau wapres sebagai delik aduan.

Seorang advokat, Dr. Eggi Sujana yang dituduh melakukan “penghinaan” terhadap Presiden kemudian disidangkan dalam tuduhan cukup serius. Penghinaan terhadap Presiden. Selain “menghadapi” persidangan, Eggi Sujana kemudian “mempersoalkan” pasal ini ke MK. Permohonan ini kemudian diperiksa oleh MK dalam perkara No. 013 Tahun 2006. Sebelum memberikan putusan akhir, MK kemudian mempertimbangkan terhadap permohonan Eggi Sujana. Menurut MK, Penerapan Pasal 134 KUHP dan Pasal 136 bis KUHP diciptakan Belanda lebih dari 100 (seratus) tahun yang lalu dengan alasan untuk membatasi kebebasan berpendapat negara-negara pada jajahan Belanda dan untuk tidak menyerang kehormatan Ratu Belanda. Padahal sekarang ini pasal tersebut sudah tidak berlaku lagi di Negara Belanda, oleh karena itu sangat tidak relevan penerapan pasal tersebut sampai sekarang tetap diberlakukan dimana di negara asalnya sudah dicabut dan tidak diberlakukan lagi. 

Pasal 134 (dan juga Pasal 135 telah dihapus, asal 136 bis, dan Pasal 137) tersebut di atas, kata “Presiden atau Wakil Presiden” dibuat untuk menggantikan Penguasa Belanda, yaitu Ratu atau Gubernur Jenderal dan Penguasa Belanda di daerah-daerah Hindia Belanda. 

Yang dimaksud dengan “Ratu” adalah Ratu Negeri Belanda (Nederland) dan yang dimaksud dengan “Gubernur Jenderal” adalah penguasa tunggal di Hindia Belanda selaku wakil Ratu Belanda untuk tanah jajahan, yang kemudian disebut Indonesia.

Oleh sebab itu, pasal-pasal tersebut di atas pada hakekatnya adalah pasal-pasal penjajah yang digunakan untuk memidana rakyat jajahan dengan cara yang sangat mudah, yaitu dengan tuduhan telah menghina penguasa (penjajah) Belanda, agar melalui ancaman penjara itu rakyat bisa ditakuti, ditundukkan dan diatur hidupnya untuk tidak melawan penjajah Belanda.

Dengan begitu, apabila pasal-pasal tersebut digunakan terhadap rakyat Indonesia yang sudah menyatakan dirinya merdeka, sama saja dengan mengatakan bahwa rakyat Indonesia masih terjajah.

Pasal Penghinaan Presiden

Warisan Kolonial
  • Pasal 134: Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500.
  • Pasal 136 bis: Dalam pengertian penghinaan tersebut Pasal 134, termasuk juga perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal di luar adanya yang terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan perbuatan, lisan, lisan atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang, atau di muka orang ketiga yang ada di situ
    bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung karenanya.
  • Pasal 137 Ayat (1): Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, dengan maksud supaya isi yang menghina diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500.
  • Pasal 137 Ayat (2): Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat 2 tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut


Era Presiden Joko Widodo (draf)
  • Pasal 217: Setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
  • Pasal 218 Ayat (1): Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV

  • Pasal 218 Ayat (2): Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
  • Pasal 219: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV
  • Pasal 220 Ayat (1): Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hana dapat dituntut berdasarkan aduan.
  • Pasal 220 Ayat (2): Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.



Dalam negara seperti Indonesia ini, penghinaan terhadap Presiden sebaiknya tidak mendapat ancaman pidana karena sejumlah hal.
Pertama, demokrasi membutuhkan warga masyarakat yang bersedia berbicara terbuka di hadapan para pemimpinnya. Tradisi ini harus terus dikembangkan. Dalam tradisi ini, memang bisa saja orang mengekspresikan kemarahan atau ketidaksukaannya dengan cara yang ekstrem. Tapi itu harus dipahami sebagai bagian (atau ekses) sah dari tradisi kebebasan berekspresi. Bila kini, para warga masyarakat ini ditakut-takuti untuk bicara, mereka akan kehilangan keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Bila ini terjadi, yang rugi adalah bangsa Indonesia.
Kedua, istilah ‘penghinaan’ itu adalah istilah yang dapat ditafsirkan sangat luas. Sebagai contoh, pernyataan ‘Presiden Jokowi adalah presiden terburuk dalam sejarah Indonesia’ atau ‘Jokowi sebaiknya mengurus keluarga saja, daripada mengurus negara’ bisa dengan mudah dinyatakan sebagai ‘penghinaan’.

Ketiga, bila pemerintah diberi otoritas untuk mengatur bentuk ekspresi kritis masyarakat , ini bisa dimanfaatkan mereka yang berkuasa untuk memberangus setiap bentuk sikap kritis masyarakat. Indonesia pernah punya pengalaman panjang seperti ini di masa Orde Lama dan Orde Baru. Dengan segenap alasan yang seolah nampak luhur, pemerintah membungkam sikap kritis masyarakat. Pemerintah manapun selalu punya kecenderungan atau potensi untuk memberangus suara oposisi. Karena itu masyarakat jangan pernah memberi peluang bagi pemerintah untuk memilki kekuasaan untuk mengatur lalu lalang opini dan ekspresi masyarakat tentang pemerintah. Yang dilarang adalah penyiaran kebohongan dan fitnah.

Keempat, dengan merujuk pada pengalaman Indonesia paca otoritarianisme, ada cukup bukti bahwa hukum berpotensi dimanipulasi. Misalnya, pasal ‘pencemaran nama baik’ yang termuat dalam UU Informasi Transaksi dan Eelektronik digunakan untuk memberangus hak warga untuk bicara secara kritis. Kasus Prita Mulyasari yang sempat masuk penjara karena mengeritik perlakuan terhadapnya oleh sebuah Rumah Sakit Swasta adalah bukti kuat bagaimana sebuah pasal hukum yang semula nampak wajar dapat dimanipulasi dengan cara sedemikian rupa oleh mereka yang memiliki kekuasaan (dalam hal ini, kekuasaan ekonomi) untuk menindas rakyat. Hukum di Indonesia dapat dengan mudah dimanfaatkan dan dibelokkan oleh mereka yang berkuasa untuk kepentingan mereka. Karena itu, cara terbaik untuk mencegah kejahatan kekuasaan ini adalah dengan tidak membiarkan hadirnya pasal-pasal yang dapat dimanipulasi oleh penguasa. Bila pasal’pencemaran nama baik’ saja bisa dimanipulasi, apalagi pasal ‘penghinaan Presiden’ yang penafsirannya bisa lebih melebar.

Kelima, seorang Presiden dalam masyarakat demokratis seharusnya memang tidak berkuping tipis berhadapan dengan warga masyarakat yang bersuara pedas. Dalam demokrasi, Presiden bukanlah raja, bukan titisan dewa, bukan manusia suci. Presiden adalah warga yang dipilih secara kolektif untuk memimpin bangsa. Warga masyarakat pada dasarnya berdiri sejajar dengan Presiden. Karena itu penghinaan terhadap Presiden sebaiknya dipandang sebagai hal biasa-biasa saja. Indonesia sudah berhasil membangun tradisi demokrasi yang sehat selama 15 tahun terakhir. Bila ini kembali diubah, pemerintah dan DPR , Indonesia kembali mundur ke dunia gelap di masa lalu.

Keenam, penghinaan tidak akan merusak reputasi atau nama baik seorang Presiden. Penghinaan mungkin tidak menyenangkan bagi mereka yang dihina, namun itu tak akan merusak reputasi atau nama baik mereka yang dihina. Ini berbeda dengan fitnah yang bisa menghancurkan hidup seseorang. Bila Jokowi diejek sebagai kodok, tidak akan ada orang yang menganggap Jokokwi sebagai kodok. 

Ketujuh, warga masyarakat pada dasarnya tidak pasif dan tidak bodoh. Bila presidennya dihina sementara sang presiden bekerja secara benar, mereka justru akan menganggap yang menghina sebagai kalangan yang bodoh, sakit hati, ‘gagal move on’, pecundang, pengecut atau sekadar meracau. Coba lihat tokoh seperti Fahri Hamzah yang terus menerus menghina Jokowi. Ucapan-ucapannya hanya akan didengar para ‘Jokowi haters’, tapi secara umum hanya jadi bahan tertawaan.

Kedelapan, penghinaan pada Presiden pada dasarnya adalah semacam bentuk kontrol sosial yang akan membuat pemimpin bersikap hati-hati dan dipaksa untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat. Dengan kesadaran bahwa langkah-langkahnya akan terus diawasi masyarakat dan berpotensi untuk di’bully’, seorang pemimpin akan selalu mempertimbangkan apa dampak yang akan ditimbulkan oleh lengkah-langkahnya.

Kesembilan, melawan suara kritis, keras, tajam, menyakitkan dari warga masyarakat dengan ancaman hukuman pidana terkesan kekanak-kanakan. Pemerintah jadinya nampak penakut dengan menggunakan tameng hukum untuk melawan warganya. Pemerintah indoensia perlu belajar dari pengalaman Presiden Obama yang habis-habisan dihina tapi membalas penghinaan itu dengan cara elegan sehingga justru Obama dikenang sebagai negarawan sesungguhnya. Sebaliknya, dulu Presiden Megawati menuntut Rakyat Merdeka karena koran itu memasang headline ‘Megawati seperti Sumanto’. Rakyat Merdeka memang dinyatakan bersalah tapi Megawati dijadikan bahan tertawaan karena tuntutannya itu.

Kesepuluh, penghidupan kembali pasal pelarangan penghinaan terhadap Presiden hanya merusak reputasi Jokowi yang naik ke tampuk kekuasaan dengan dukungan mereka yang sangat percaya bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik bagi Indonesia. Penghidupan kembali pasal tersebut akan merupakan warisan terburuk pemerintahan Jokowi yang ironisnya justru naik karena demokrasi.

Ada baiknya pasal tentang penghinaan terhadap presiden dibiarkan tetap berada dalam peti yang terkunci. Mudah-mudahan pemerintah dan DPR bersikap bijak dan ingat pada akhirnya yang harus selalu menempati prioritas utama adalah kesejahteraan rakyat Indonesia. Dan itu hanya akan bisa dicapai bila Indonesia memiliki pemerintahan yang bersih dari korup dan bisa dikontrol oleh masyarakat.


Sumber :
1. https://news.detik.com/berita/d-4718715/kontroversi-di-balik-4-ruu-yang-pengesahannya-diminta-ditunda

2. https://tirto.id/isi-ruu-kuhp-dan-pasal-kontroversial-penyebab-demo-mahasiswa-meluas-eiFu


3. https://www.solopos.com/sejarah-pasal-penghinaan-presiden-dihapus-mk-dikembalikan-dpr-di-rkuhp-1020357

4. https://www.dw.com/id/10-alasan-mengapa-pasal-pelarangan-penghinaan-presiden-sebaiknya-tidak-masuk-kuhp/a-18639953