Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas Dasar-Dasar Penulisan.
Nama : Annisa Yumna Yolanda
Kelas : Penerbitan 1B
Nim : 19030018
Dosen : Nurul Akmalia, S.I Kom, M.Med.Kom
Ribuan mahasiswa bentrok saat melakukan aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU KUHP dan berbagai RUU yang dinilai kontroversial dan melemahkan demokrasi dan pemberantasan korupsi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019). tirto.id/Andrey Gromico.
Belakangan ini demo besar-besaran terjadi disejumlah
kota di Indonesia, seperti di Semarang,
Palembang, Makassar, Solo, Medan dan kota-kota lainnya. Di Jakarta sendiri demo berlangsung dengan melibatkan ribuan massa yang mengepung gedung DPR. Ini
berawal dari pro-kontra terhadap rancangan KUHP, lalu berlanjut saat
disahkannya RUU KPK oleh DPR, kemudian berlanjut ke pembahasan RUU Minerba, RUU
KUHP, RUU Pertanahan, RUU Kemasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan yang ternyata
mendapat protes dari para mahasiswa di seluruh Indonesia. Mereka (mahasiswa)
menolak keempat RUU tersebut, karena dinilai DPR sudah sewenang-wenang membuat
aturan tanpa partisipasi masyarakat. Malah ada aturan yang berpotensi menjadi
sumber kesengsaraan rakyat..
Senin (23/9/2019), Presiden Joko Widodo (Jokowi)
meminta empat Rancangan Undang-Undang itu ditunda pengesahannya oleh DPR. "Tadi
siang saya bertemu dengan Ketua DPR, serta ketua fraksi, ketua komisi yang
intinya tadi saya minta agar pengesahan RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU KUHP,
RUU Pemasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan itu ditunda pengesahannya,"
ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Permintaan penundaan itu
disampaikan Jokowi saat bertemu dengan pimpinan DPR beserta komisi terkait di
Istana. Untuk RUU KUHP, Jokowi sudah meminta penundaaan sejak Jumat (20/9/2019)
lalu. Jokowi ingin DPR mendengarkan masukan-masukan masyarakat sebelum
mengesahkan RUU tersebut.
Dari sekian banyaknya RUU yang ditolak oleh mahasiswa,
saya disini akan membahas salah satu RUU KUHP tentang penghinaan kepada
Presiden. Kenapa saya lebih memilih untuk membahas RUU KUHP yang satu ini?
Karena RUU ini cukup menarik perhatian saya. Kenapa? Indonesia ini adalah
negara hukum dan berdemokrasi. Dalam arti setiap warga negara bebas mengatakan
pendapatnya. Dan pendapat itu, atau cara pandangnya bisa bersifat positif dan
negatif. Bila negara ini menetapkan hukuman pidana dalam penghinaan untuk
pejabat negara seperti itu, dimana arti Demokrasi negara ini? Demokrasi negara
ini bebas, walaupun tidak semau-maunya. Dan juga apa artinya penghinaan? Itu relatif
darimana sudut pandang kita menyimpulkannya seperti apa. Kalau kritikan di
dalam dunia politik itu dinamakan penghinaan, ya itu mengarah ke otoriter. Dan apabila itu terjadi mau kemana arah negara demokrasi bangsa ini?
Menurut Manik Margamahendara (Ketua Bem UI), “Mengkritik
itu tujuannya untuk memperbaiki bukan untuk menghina. Dan yang kami khawatirkan
justru itu nanti malah menjerat para aktivis, menjerat orang-orang yang bisa
kritis untuk memikirkan nasib kedepan bagi bangsa ini.”
Selama masa penundaan, para
penyusun UU akan mendalami kembali sejumlah pasal kontroversial dalam beleid
tersebut. Salah satu materi yang mengundang pro-kontra adalah pemidanaan
terhadap penyerang kehormatan dan martabat presiden atau wakil presiden
(wapres).
Dalam draf RKUHP versi 15 September 2019 yang diperoleh Bisnis/JIBI,
pemidanaan terhadap penghina penguasa negeri ini tercantum dalam RKUHP Buku Kedua Bab II mengenai Tindak
Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.Bab II meliputi Pasal 217-Pasal 220. Bagian kesatu mencakup Pasal 217 yakni
Penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.Adapun bagian kontroversial terdapat pada bagian kedua mengenai Penyerangan
Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi
Pasal 218-Pasal 220.Pasal 218 ayat (1) berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menyerang
kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana
denda paling banyak Kategori IV."Pasal 218 ayat (2) berbunyi, "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau
harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan
untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."Sementara itu, Pasal 219 RKUHP mencantumkan pidana bagi pelaku penyerangan kehormatan
atau harkat dan martabat melalui medium komunikasi. Adapun Pasal 220 menegaskan
pemidanaan penghina presiden atau wapres sebagai delik aduan.
Seorang advokat, Dr. Eggi Sujana
yang dituduh melakukan “penghinaan” terhadap Presiden kemudian
disidangkan dalam tuduhan cukup serius. Penghinaan terhadap Presiden. Selain “menghadapi”
persidangan, Eggi Sujana kemudian “mempersoalkan” pasal ini ke MK. Permohonan
ini kemudian diperiksa oleh MK dalam perkara No. 013 Tahun 2006. Sebelum
memberikan putusan akhir, MK kemudian mempertimbangkan terhadap permohonan Eggi
Sujana. Menurut MK, Penerapan Pasal 134 KUHP
dan Pasal 136 bis KUHP diciptakan Belanda lebih dari 100 (seratus) tahun yang
lalu dengan alasan untuk membatasi kebebasan berpendapat negara-negara pada
jajahan Belanda dan untuk tidak menyerang kehormatan Ratu Belanda. Padahal
sekarang ini pasal tersebut sudah tidak berlaku lagi di Negara Belanda, oleh
karena itu sangat tidak relevan penerapan pasal tersebut sampai sekarang tetap
diberlakukan dimana di negara asalnya sudah dicabut dan tidak diberlakukan
lagi.
Pasal 134 (dan juga Pasal 135 telah
dihapus, asal 136 bis, dan Pasal 137) tersebut di atas, kata “Presiden atau
Wakil Presiden” dibuat untuk menggantikan Penguasa Belanda, yaitu Ratu atau
Gubernur Jenderal dan Penguasa Belanda di daerah-daerah Hindia Belanda.
Yang dimaksud dengan “Ratu”
adalah Ratu Negeri Belanda (Nederland) dan yang dimaksud dengan “Gubernur
Jenderal” adalah penguasa tunggal di Hindia Belanda selaku wakil Ratu
Belanda untuk tanah jajahan, yang kemudian disebut Indonesia.
Oleh sebab itu, pasal-pasal tersebut
di atas pada hakekatnya adalah pasal-pasal penjajah yang digunakan untuk
memidana rakyat jajahan dengan cara yang sangat mudah, yaitu dengan tuduhan
telah menghina penguasa (penjajah) Belanda, agar melalui ancaman penjara itu
rakyat bisa ditakuti, ditundukkan dan diatur hidupnya untuk tidak melawan
penjajah Belanda.
Dengan begitu, apabila pasal-pasal
tersebut digunakan terhadap rakyat Indonesia yang sudah menyatakan dirinya
merdeka, sama saja dengan mengatakan bahwa rakyat Indonesia masih terjajah.
Pasal
Penghinaan Presiden
Warisan
Kolonial
Pasal
134: Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil
Presiden diancam dengan pidana paling lama 6 tahun atau pidana denda paling
banyak Rp4.500.
Pasal
136 bis: Dalam pengertian penghinaan tersebut Pasal 134, termasuk juga
perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal di luar adanya yang terkena, baik dengan
tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan perbuatan, lisan,
lisan atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang, atau di muka orang
ketiga yang ada di situ
bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung
karenanya.
Pasal
137 Ayat (1): Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di
muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap presiden atau
wakil presiden, dengan maksud supaya isi yang menghina diketahui atau lebih
diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan
atau pidana denda paling banyak Rp4.500.
Pasal
137 Ayat (2): Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan
pencariannya, dan pada saat itu belum lewat 2 tahun sejak adanya pemidanaan
yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang
menjalankan pencarian tersebut
Era
Presiden Joko Widodo (draf)
- Pasal
217: Setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak
termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun.
- Pasal
218 Ayat (1): Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat
dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV
- Pasal
218 Ayat (2): Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan
umum atau pembelaan diri.
- Pasal
219: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan
atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga
terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi
yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden
atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui
umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana
denda paling banyak Kategori IV
- Pasal
220 Ayat (1): Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219
hana dapat dituntut berdasarkan aduan.
- Pasal
220 Ayat (2): Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Dalam negara seperti Indonesia ini, penghinaan
terhadap Presiden sebaiknya tidak mendapat ancaman pidana karena sejumlah hal.
Pertama, demokrasi membutuhkan warga masyarakat yang bersedia berbicara terbuka
di hadapan para pemimpinnya. Tradisi ini harus terus dikembangkan. Dalam
tradisi ini, memang bisa saja orang mengekspresikan kemarahan atau
ketidaksukaannya dengan cara yang ekstrem. Tapi itu harus dipahami sebagai
bagian (atau ekses) sah dari tradisi kebebasan berekspresi. Bila kini, para
warga masyarakat ini ditakut-takuti untuk bicara, mereka akan kehilangan
keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Bila ini terjadi, yang rugi adalah
bangsa Indonesia.
Kedua, istilah ‘penghinaan’ itu adalah istilah yang
dapat ditafsirkan sangat luas. Sebagai contoh, pernyataan ‘Presiden Jokowi
adalah presiden terburuk dalam sejarah Indonesia’ atau ‘Jokowi sebaiknya
mengurus keluarga saja, daripada mengurus negara’ bisa dengan mudah dinyatakan
sebagai ‘penghinaan’.
Ketiga, bila pemerintah diberi otoritas untuk mengatur
bentuk ekspresi kritis masyarakat , ini bisa dimanfaatkan mereka yang berkuasa
untuk memberangus setiap bentuk sikap kritis masyarakat. Indonesia pernah punya
pengalaman panjang seperti ini di masa Orde Lama dan Orde Baru. Dengan segenap
alasan yang seolah nampak luhur, pemerintah membungkam sikap kritis masyarakat.
Pemerintah manapun selalu punya kecenderungan atau potensi untuk memberangus
suara oposisi. Karena itu masyarakat jangan pernah memberi peluang bagi
pemerintah untuk memilki kekuasaan untuk mengatur lalu lalang opini dan ekspresi
masyarakat tentang pemerintah. Yang dilarang adalah penyiaran kebohongan dan
fitnah.
Keempat, dengan merujuk pada pengalaman Indonesia paca
otoritarianisme, ada cukup bukti bahwa hukum berpotensi dimanipulasi. Misalnya,
pasal ‘pencemaran nama baik’ yang termuat dalam UU Informasi Transaksi dan
Eelektronik digunakan untuk memberangus hak warga untuk bicara secara kritis.
Kasus Prita Mulyasari yang sempat masuk penjara karena mengeritik perlakuan
terhadapnya oleh sebuah Rumah Sakit Swasta adalah bukti kuat bagaimana sebuah
pasal hukum yang semula nampak wajar dapat dimanipulasi dengan cara sedemikian
rupa oleh mereka yang memiliki kekuasaan (dalam hal ini, kekuasaan ekonomi)
untuk menindas rakyat. Hukum di Indonesia dapat dengan mudah dimanfaatkan dan
dibelokkan oleh mereka yang berkuasa untuk kepentingan mereka. Karena itu, cara
terbaik untuk mencegah kejahatan kekuasaan ini adalah dengan tidak membiarkan
hadirnya pasal-pasal yang dapat dimanipulasi oleh penguasa. Bila
pasal’pencemaran nama baik’ saja bisa dimanipulasi, apalagi pasal ‘penghinaan
Presiden’ yang penafsirannya bisa lebih melebar.
Kelima, seorang Presiden dalam masyarakat demokratis
seharusnya memang tidak berkuping tipis berhadapan dengan warga masyarakat yang
bersuara pedas. Dalam demokrasi, Presiden bukanlah raja, bukan titisan dewa,
bukan manusia suci. Presiden adalah warga yang dipilih secara kolektif untuk
memimpin bangsa. Warga masyarakat pada dasarnya berdiri sejajar dengan
Presiden. Karena itu penghinaan terhadap Presiden sebaiknya dipandang sebagai
hal biasa-biasa saja. Indonesia sudah berhasil membangun tradisi demokrasi yang
sehat selama 15 tahun terakhir. Bila ini kembali diubah, pemerintah dan DPR ,
Indonesia kembali mundur ke dunia gelap di masa lalu.
Keenam, penghinaan tidak akan merusak reputasi atau
nama baik seorang Presiden. Penghinaan mungkin tidak menyenangkan bagi mereka
yang dihina, namun itu tak akan merusak reputasi atau nama baik mereka yang
dihina. Ini berbeda dengan fitnah yang bisa menghancurkan hidup seseorang. Bila
Jokowi diejek sebagai kodok, tidak akan ada orang yang menganggap Jokokwi
sebagai kodok.
Ketujuh, warga masyarakat pada dasarnya tidak pasif
dan tidak bodoh. Bila presidennya dihina sementara sang presiden bekerja secara
benar, mereka justru akan menganggap yang menghina sebagai kalangan yang bodoh,
sakit hati, ‘gagal move on’, pecundang, pengecut atau sekadar meracau. Coba
lihat tokoh seperti Fahri Hamzah yang terus menerus menghina Jokowi.
Ucapan-ucapannya hanya akan didengar para ‘Jokowi haters’, tapi secara umum
hanya jadi bahan tertawaan.
Kedelapan, penghinaan pada Presiden pada dasarnya
adalah semacam bentuk kontrol sosial yang akan membuat pemimpin bersikap
hati-hati dan dipaksa untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat. Dengan
kesadaran bahwa langkah-langkahnya akan terus diawasi masyarakat dan berpotensi
untuk di’bully’, seorang pemimpin akan selalu mempertimbangkan apa dampak yang
akan ditimbulkan oleh lengkah-langkahnya.
Kesembilan, melawan suara kritis, keras, tajam,
menyakitkan dari warga masyarakat dengan ancaman hukuman pidana terkesan
kekanak-kanakan. Pemerintah jadinya nampak penakut dengan menggunakan tameng
hukum untuk melawan warganya. Pemerintah indoensia perlu belajar dari
pengalaman Presiden Obama yang habis-habisan dihina tapi membalas penghinaan
itu dengan cara elegan sehingga justru Obama dikenang sebagai negarawan
sesungguhnya. Sebaliknya, dulu Presiden Megawati menuntut Rakyat Merdeka karena
koran itu memasang headline ‘Megawati seperti Sumanto’. Rakyat Merdeka memang
dinyatakan bersalah tapi Megawati dijadikan bahan tertawaan karena tuntutannya
itu.
Kesepuluh, penghidupan kembali pasal pelarangan
penghinaan terhadap Presiden hanya merusak reputasi Jokowi yang naik ke tampuk
kekuasaan dengan dukungan mereka yang sangat percaya bahwa demokrasi adalah
pilihan terbaik bagi Indonesia. Penghidupan kembali pasal tersebut akan
merupakan warisan terburuk pemerintahan Jokowi yang ironisnya justru naik
karena demokrasi.
Ada
baiknya pasal tentang penghinaan terhadap presiden dibiarkan tetap berada
dalam peti yang terkunci. Mudah-mudahan pemerintah dan DPR bersikap bijak dan
ingat pada akhirnya yang harus selalu menempati prioritas utama adalah
kesejahteraan rakyat Indonesia. Dan itu hanya akan bisa dicapai bila Indonesia
memiliki pemerintahan yang bersih dari korup dan bisa dikontrol oleh masyarakat.
Sumber :
1. https://news.detik.com/berita/d-4718715/kontroversi-di-balik-4-ruu-yang-pengesahannya-diminta-ditunda
2. https://tirto.id/isi-ruu-kuhp-dan-pasal-kontroversial-penyebab-demo-mahasiswa-meluas-eiFu
3. https://www.solopos.com/sejarah-pasal-penghinaan-presiden-dihapus-mk-dikembalikan-dpr-di-rkuhp-1020357
4. https://www.dw.com/id/10-alasan-mengapa-pasal-pelarangan-penghinaan-presiden-sebaiknya-tidak-masuk-kuhp/a-18639953